Selasa, 24 April 2012
Artikel industri Asuransi
Industri Asuransi Butuh Gizi
Feb 4, '05 3:52 AM
untuk semuanya
Industri ini tumbuh 20-25% setiap tahun, namun masih jauh untuk mencapai skala ekonomi
Syarifudin Yunus, Head of Corporate Communications Department, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia bercerita, saat ini gampang-gampang susah mengatur wawancara dengan wartawan. Sejak kasus Manulife dipailitkan 2 tahun yang lalu, hingga kini pihak korporat agak berhati-hati melayani permintaan wawancara, terutama terkait dengan masalah hukum. “Trauma ini masih terasa hingga sekarang,” ujarnya. Trauma yang belum sembuh di sisi Manulife kini terjadi di perusahaan lain yaitu PT Prudential Life Assurance. Perusahaan yang notabene sehat, bahkan sangat sehat, -per 31 Desember 2003 Prudential memiliki rasio kecukupan modal terhadap risiko yang ditanggung (RBC) 255 persen. Jauh melampaui RBC minimal yang ditentukan Depkeu, yaitu 100 persen-, pada akhir April mengalami nasib yang sama, dipailitkan. Hingga tulisan ini diturunkan Prudential masih menunggu keputusan dari Mahkamah Agung (MA) yang paling lambat dikeluarkan 30 hari sejak pengajuan kasasi oleh Prudential ke MA, 30 April lalu.
Di tengah usaha industri asuransi untuk menempatkan diri sebagai pilar ekonomi, bersama pasar modal dan perbankan, kejadian ini hanyalah satu masalah yang mendera industri. Dibandingkan dengan lembaga keuangan lain, industri asuransi jiwa masih jauh tertinggal. Dari jumlah total dana masyarakat yang dikelola saja misalnya. Di industri finansial dana itu kini mencapai Rp1000 trilyun. Dana di perbankan masih mendominasi dengan jumlah dana pihak ketiga per Desember 2003 mencapai Rp888,6 triliun. Di industri asuransi jiwa, jumlah dana terpecah diantara dana pensiun dan asuransi sosial (social insurance). Jumlahnya kurang lebih Rp100 triliun. Dari jumlah tersebut di tahun 2002, dana yang dikelola oleh asuransi jiwa mencapai Rp26 triliun (2002). Angka ini juga masih kalah dari jumlah dana yang diserap di pasar modal yang jumlahnya meningkat dari Rp46 triliun pada 2002 menjadi sekitar Rp60 triliun di 2003.
Dari peta di industri keuangan ini terlihat, ada ketimpangan antara jumlah dana yang dikelola perbankan, asuransi dan pasar modal. Hal yang menyebabkan terjadinya ketidakefisienan pengelolaan dana baik untuk jangka pendek (short term) maupun jangka panjang (long term). Asuransi jiwa dilihat dari fitrahnya mengelola dana-dana jangka panjang dengan liabilitas yang mencapai 10 tahun atau bahkan 20 tahun. “Kalau kita lihat di negara-negara yang sudah maju, komposisi dana pihak ketiga yang dikelola antara perbankan dan asuransi jiwa itu jauh lebih balance, hampir 50%: 50%,” ujar Evelina F. Pietruschka, Wakil Ketua AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) Bidang Keagenan dan Promosi, yang juga CEO PT Wana Artha Life kepada BusinessWeek Indonesia.
Laporan (un-audited) dari AAJI menyebutkan hingga triwulan ke IV 2003, total pendapatan premi asuransi jiwa mengalami peningkatan 25,1% menjadi Rp14,21 triliun, dari Rp 11,36 triliun pendapatan premi periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah pendapatan -yang merupakan hasil penjumlahan pendapatan premi, hasil investasi, klaim reasuransi dan lain-lain-, juga mengalami peningkatan sebesar 30,88% dari Rp12,59 triliun menjadi Rp16,48 triliun. Jumlah investasi total juga meningkat 29,8% menjadi Rp26,46 triliun. Sehingga semua itu meningkatkan total aset yang dikelola oleh sekitar 51 perusahaan asuransi jiwa sebesar 23,7% dari Rp26 triliun di 2002 menjadi Rp32,6 triliun di akhir 2003 (un-audited).
Pertumbuhan di sisi aset juga diikuti pertumbuhan di sisi jumlah tertanggung. Jumlah nasabah asuransi individu yang memiliki polis hingga kuartal ke IV 2003 mengalami kenaikan sebesar 33% dari 4.172.337 di 2002 menjadi 5.578.137. Angka 5,5 juta ini dalam perjalannya mengalami proses naik turun. Seperti pada kuartal pertama 2003 jumlah tertanggung sempat melonjak menjadi 5.122.013 dan turun lagi pada kuartal kedua 2003 ke 3.882.366. Kenaikan kembali diraih di kuartal ketiga menjadi 4.417.642 sebelum mencapai angka 5,5 juta di akhir 2003.
Namun saat ini, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 218 juta jiwa, penetrasi pasar asuransi jiwa di tanah air hanya mencapai 2,7%. Pasar ini diperebutkan diantara 51 perusahaan asuransi jiwa. Dua puluh diantaranya adalah perusahaan asuransi asing atau joint venture. Dengan sisa lebih dari 180 juta jiwa yang belum tersentuh asuransi dan sekitar 200 juta jiwa yang belum memiliki polis asuransi tentu saja ini menjadi peluang pasar yang menggiurkan.
Produk tradisional
Pemain terbesar hingga saat ini adalah AJB Bumiputera 1912. Sebagai satu-satunya perusahaan mutual di Indonesia menurut Manager PR-nya, Ana Mustamin, Bumiputera masih mengandalkan produk tradisional untuk pertumbuhan preminya, “sebagai bentuk dari bisnis asuransi murni,” ujarnya. Namun Bumiputera juga tidak menutup mata dengan kebutuhan masyarakat, utamanya di wilayah kota-kota besar. Dengan bentuk badan usaha yang sifatnya mutual, Bumiputera harus berhati-hati dalam menciptakan produk. Untuk itu Bumiputera mengeluarkan produk semi unit link yaitu seri Mitra, Mitra Utama dan Mitra Pusaka. Dalam produk ini Bumiputera masih memberikan garansi suku bunga kepada pemegang polis, sehingga di dalamnya masih ada unsur kepastian. “Sekitar 1,5%, di atas itu baru kita ambangkan,” ujar Ana. Di 2004 Bumiputera menargetkan peroleh premi sebesar Rp3,01 triliun, terdiri dari Rp858,56 miliar premi baru (new business) dan Rp2,152 triliun premi lanjutan. Dengan penguasaan pasar yang kini sebesar 20% dari seluruh industri Bumiputera berupaya untuk mengembalikan kejayaannya yang dulu mencapai lebih dari 50% dari kue industri di tahun 1980-an. “Karena makin banyak pemain ke industri kuenya jadi terbagi-bagi,” ujar Ana.
Salah satunya ke Jiwasraya. Menurut Herris B. Simandjuntak, Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, masalah “bagi-bagi kue” ini tergantung pada jenis produk. Jiwasraya masih mengandalkan produk tradisional namun harus berhadapan dengan pesaing-pesaing yang berbeda sesuai dengan jenis produknya. Untuk pasar group, di pasar pertanggungan kumpulan ini, Jiwasraya tidak hanya bersaing dengan Bumiputera, “tapi juga dengan Bringin Life dan kadang juga bertemu dengan AIA,” ujar Herris. Untuk produk modern seperti unit link, Jiwasraya berhadapan dengan perusahaan joint venture (JV) seperti Prudential. “Kalau di pasar perorangan kelas menengah biasanya kita bertarung dengan Bumiputera, tapi kalau kita masuk ke kalangan menengah ke atas kita bertarungnya dengan para JV ini,” ujar Herris. Jiwasraya mengalami pertumbuhan premi sebesar Rp 958 miliar di 2002. Sampai akhir 2003 jumlah premi Jiwasraya mencapai angka Rp1,085 trilyun. Menurut Herris angka ini menduduki posisi nomor tiga dari seluruh pemain di industri. “Memang kenaikan persentasenya tidak terlalu tinggi, 10%, tapi kita tetap bergembira bahwa batas psikologis Rp1 triliun itu terlampaui,” ujarnya optimis. Dari angka itu sekitar 57,78% merupakan premi baru (new business) dari nilai Rp1,085 triliun.
Unit link
Namun posisi produk tradisonal sebagai andalan diramalkan mulai tersisih. Fenomena ini tampak di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Per Maret 2004, premi new business yang diterima Manulife secara total mencapai angka Rp44,6 miliar rupiah. Data hingga akhir tahun 2003 penerimaan total premi Manulife adalah sebesar Rp779 miliar. Dari angka itu sekitar Rp188 miliar merupakan premi baru (individu dan kumpulan) dan sisanya sekitar Rp600 miliar adalah premi lanjutan (renewal premium). Dilihat dari jenis produknya produk whole life, yaitu Pro Life menyumbang sekitar 30-35% sebesar Rp12 miliar dari premi baru di bulan Maret. Namun kini ada produk baru yang mulai mengimbangi, yaitu produk Pro Invest. Menurut Nelly Husnayati, Executive Vice President & Chief Agency Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, produk ini memberikan sumbangsih sekitar 18% dari premi total perolehan premi baru pada bulan Maret senilai Rp7,3 miliar. Hingga kini produk unit link yang baru mulai diluncurkan di 1998 menempati posisi kedua setelah produk whole life.
Data dari industri juga menunjukkan tren yang sama. Dari laporan perkembangan bisnis asuransi jiwa (un-audited) yang diikuti 48 partisipan dari 51 perusahaan anggota AAJI (31 perusahaan swasta nasional dan 20 perusahaan joint venture) yang diperoleh BusinessWeek Indonesia menyebutkan, pendapatan premi (premium income) baru dan lanjutan dari produk unit link terus mengalami peningkatan. Di kuartal pertama 2003 pendapatan premi baru unit link sebesar Rp235,2 miliar. Di kuartal kedua angka ini melonjak dua kali lipat menjadi Rp529,9 miliar. Di kuartal ketiga 2003 angka ini menembus level psikologis Rp1 triliun menjadi Rp1,1 triliun, dan ditutup dengan perolehan premi di kuartal keempat 2003 sebesar Rp1,7 triliun. Bertahannya kecenderungan tren ini terlihat dari premi lanjutan. Di kuartal pertama jumlah premi lanjutan unit link tercatat sebesar Rp54,2 miliiar, kemudian menjadi Rp153,6 miliyar di kuartal kedua, Rp260 miliar di kuartal ketiga dan ditutup menjadi Rp424,8 di kuartal keempat. Hal ini tidak lepas dari tren menurunnya suku bunga yang menyebabkan perpindahan dana dari produk perbankan ke produk investasi seperti reksadana, termasuk produk investasi yang berproteksi seperti unit link..
Walaupun terus meningkat, secara keseluruhan, sumbangan produk unit link untuk pendapatan premi masih kalah dengan pendapatan premi baru dan lanjutan dari produk individu dan kumpulan. Hingga akhir tahun 2003, dimana pendapatan premi baru unit link melambung menjadi Rp1,7 triliun, premi baru produk individu menyumbang sebesar Rp3,52 triliun (un-audited) sementara premi baru produk kumpulan menyumbang Rp1,48 triliun. Premi lanjutan untuk produk individu sampai akhir tahun 2003 tercatat sebesar Rp5,47 triliun sementara premi lanjutan untuk produk kumpulan mencapai Rp1,286 triliun. Semua itu dengan kenaikan rata-rata 20-25%.
Tidak signifikan
Namun kenaikan dari pendapatan aset, jumlah tertanggung dan premi ini dinilai kurang signifikan. “Karena banyak sekali terjadi perpindahan portofolio dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, sebagai bagian dari penetrasi secara keseluruhan,” ujar Evelina. Indikasinya terlihat dari jumlah agen. Bisnis baru (new business) yang masuk menurut Evelina paralel atau berkaitan langsung dengan bertambahnya jumlah agen. Sudah tidak menjadi rahasia, di Indonesia ujung tombak penjualan produk asuransi, masih sangat tergantung pada agen. Saat ini jumlah agen asuransi jiwa tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Menurut data AAJI, jumlah agen dari waktu ke waktu malah mengalami penurunan. Sampai akhir tahun 2002, jumlah agen asuransi tercatat 81.751 orang. Di kuartal pertama 2003 angka ini malah turun menjadi 80.018 orang. Di kuartal kedua 2003 angka ini sedikit mengalami kenaikan menjadi 82.103 dan turun lagi menjadi 79.809 di akhir tahun 2003 (data un-audited). “Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perpindahan agen asuransi jiwa dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain,” ujar Evelina. Sebagai salah satu cara untuk mengantisipasi besarnya turn over agen AAJI kini berencana memutihkan (grand fathering) seluruh agen asuransi yang ada di tanah air. Per September 2004 semua agen harus mempunyai lisensi yang akan dikeluarkan oleh AAJI. Setelah September 2004 semua agen baru harus mengikuti ujian yang infrastruktur pengujiannya rencananya akan disiapkan oleh AAJI bekerjasama dengan Singapore College of Insurance.
Dengan pertumbuhan yang kurang signifikan ini penguasaan pasar asuransi jiwa di tanah air pun tidak banyak berubah. Saat ini 65% dari pangsa pasar asuransi dikuasai oleh 5 perusahaan besar. Perusahaan 5 besar itu terdiri dari 2 perusahaan joint venture dan 3 perusahaan lokal yang terdiri dari AJB Bumiputera 1912, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), AIG Lippo, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dan terakhir Sequislife yang sekarang menjadi perusahaan lokal. Apabila dirinci lebih lanjut, penguasaan pasar ini akan semakin menciut. Hanya sekitar 10 perusahaan besar yang menguasai 85% pangsa pasar dan 15 perusahaan terbesar menguasai 95% pangsa pasar.
Salah satu kunci masalahnya adalah kapitalisasi. Dengan prasyarat RBC yang semakin meningkat (RBC 120% pada akhir tahun 2004) menurut Herris ke depannya pemain di industri asuransi akan semakin terseleksi. Mau tidak mau, perusahaan akan dipaksa untuk menambah modalnya atau mencari investor baru. Pilihan lain adalah langkah merger dan akuisisi. Walaupun langkah ini kurang begitu disukai dengan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dsb, namun secara logis perusahaan yang permodalannya kuat dan sehat akan mengakuisisi perusahaan yang dianggap potensial bagi perkembangan bisnis. Salah satu perusahaan yang agresif melakukan akuisisi untuk memperkuat lini bisnisnya adalah PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Selama 18 tahun di Indonesia, mulai tahun 1997-2004 Manulife telah melakukan penggabungan perusahaan atau akuisisi dan merger sebanyak 6 perusahaan. Dengan prasyarat RBC yang semakin tinggi ini menurut Herris nantinya di tahun 2005-2006, pemain di industri asuransi diperkirakan hanya akan tinggal separuhnya.
Monopoli
Menurut Hotbonar Sinaga, Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI), asuransi masih sulit tumbuh karena dukungan pemerintah non-regulator (di luar Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yg membawahi Direktorat Asuransi) masih sangat minim. Dari sisi produk misalnya, untuk asuransi wajib, seharusnya, seperti di negara tetangga Malaysia dan Singapura, Indonesia harus juga mewajibkan adanya asuransi tanggung jawab hukum kendaraan bermotor terhadap pihak ketiga. “Disini yang wajib cuma kecelakaan penumpang (ditutup Jasa Raharja) dan Jamsostek doangan,” ujar Hotbonar. Asuransi wajib lain seperti asuransi kecelakaan diri untuk pemegang SIM juga tersedia. Namun asuransi ini kini dimonopoli oleh perusahaan asuransi milik Inkoppol/Jasindo bernama Asuransi Bhakti Bayangkara. Usulan lain terkait dengan Direktorat Jenderal Pajak. Untuk menggairahkan orang mendaftarkan diri guna memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menurut Hotbonar seharusnya premi asuransi yang dibayar keluarga atau perorangan, seperti untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelekaan diri, asuransi pendidikan, asuransi kematian, semestinya bisa dikurangkan dari PKP (Pendapatan Kena Pajak).
Ke depannya menurut Evelina untuk bisa menciptakan penetrasi pasar yang signifikan kuncinya lebih pada penciptaan saluran distribusi distribusi, seperti bancassurance, dan menciptakan produk yang mengarah kepada jenis produk wealth management dan familiy financial planning. Hal ini menurutnya akan bisa mempercepat perpindahan produk-produk yang sifatnya short-term di perbankan, menjadi produk-produk yang long-term di asuransi jiwa. “Sehingga komposisinya akan balance, karena kalau kita lihat sekarang ada semacam miss match,” ujarnya. Bentuk miss match lain juga banyak dialami oleh perusahaan lokal, misalnya miss match investasi. Sehingga menurut Evelina perlu konsolidasi dan pembenahan keseluruhan dan ,”ini adalah kerja berat dari pemerintah dan asosiasi,” ujarnya. Di tengah upaya industri untuk membenahi diri dan menambah gizi ini menurut Hotbonar ancaman kasus pemailitan masih akan terjadi. “Ini yg lamban DPR sih, mereka lebih memprioritaskan UU berbau Pemilu. Payah. Revisi UU Kepailitan no. 4 / 1998 entah kapan akan mulai dibicarakan dan disahkan DPR. Wallahu'alam bissawab,” ujarnya menutup wawancara. Nah lo! Oleh Hizbullah Arief di Jakarta
referensi :
http://hizbul.multiply.com/journal/item/15/Industri_Asuransi_Butuh_Gizi?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar